Download atau Langsung Download di playstore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pas1.mat8
dipublikasikan di PPPTK Yogyakarta, 8/12/2007
Oleh : Ikhwanudin Achmad, S.Si. (SMP 3 Wonosari)
Matematika bukanlah pelajaran yang sulit. Itu bagaikan pernyataan kosong
dan akan tetap kosong. Itulah yang saya pikirkan, sebab bagaimanapun saya
sebagai guru matematika mengusahakan kesan bahwa matematika itu tidak sulit,
bahwa matematika itu menyenangkan, bahwa matematika itu kawan yang baik, pasti
ada saja faktor-faktor yang selalu ada dari banyak sisi yang mementahkan kesan
yang saya tanamkan.
Pembelajaran matematika saya buat menyenangkan, dengan slide-slide yang
ceria dan contoh-contoh yang aktual. Tapi datang kurikulum dengan buku yang
tebalnya sampai saya meminta perlindungan agar dijauhkan dari rasa takut dengan
buku, kurikulum 2013 namanya, sering dikenal dengan sebutan kurtilas. Belum
cukup dengan “kerennya” buku siswa, gurunya juga mendapatkan buku spesial guru
yang tebalnya makin membuat tas saya gampang jebol.
Kesan sulit juga didapatkan dari bahasan buku kurtilas itu sendiri,
dimana penulisannya terkesan tergesa-gesa serta tidak terfokuskan dengan baik.
Justru buku-buku yang saya baca dari penerbit swasta malah lebih mengesankan
kemudahan tersebut. Ini buku khusus kurtilas resmi terbitan pemerintah justru
memakai teknik penjelasan yang “mbulet” alias memutar kemana-mana. Soal-soal
dan contoh yang diberikan semakin menambah pusing anak didik saya. Angka-angka
yang dipilih dalam soal jelas bukan angka-angka yang cantik, yang kalau
dikerjakan tanpa kalkulator ternyata sulit.
Rupanya keluhan tentang kualitas buku dan lain-lainnya dari kurikulum
2013 yang belum matang ini terdengar dan disuarakan dimana-mana. Namun masih
belum ada kebijakan yang menenangkan, hingga akhirnya pak menteri diganti oleh
presiden baru dengan pak menteri yang baru dan fresh. Pak Menteri yang baru ini juga harapan baru bagi kami yang
ternyata benar mengabulkan sebagian besar harapan para guru, bahwa sekolah yang
belum siap boleh untuk tetap memakai kurikulum 2006 yang terkenal dengan
sebutan KateSiape, salah satu bahasa plesetan dari KTSP. Hal ini sangat
melegakan karena untuk sementara kami masih bisa memakai cara “lama” yang
menurut kami jauh lebih sederhana dalam pembelajaran.
Setelah ganti menteri lagi pada tahun 2015, kami kembali harap-harap
cemas mengenai kebijakan kurikulum. Maklum, sudah jamak opini bahwa berganti
menteri berarti berganti kurikulum. Penantian pun terjawab, yaitu dengan adanya
revisi kurikulum 2013. Dan ini justru menjadikan hari-hari kami selalu
dibayangi dengan revisi seperti apa yang akan dibijakkan oleh pemerintah pusat.
Pada pertengahan 2016 keluar revisi yang entah bagaimana bahkan belum
sempat saya mengamati sudah lanjut keluar revisi 2017. Dan di tahun pelajaran 2017/2018
ini sekolah kami akhirnya kebagian melaksanakan kurikulum 2013 revisi 2017
secara penuh. Dan sibuklah para guru mencari buku kurtilas revisi 2017 yang
ternyata belum terbit. Bahkan edisi soft file juga sangat amat susah dicari.
Hasilnya satu bulan pertama kami masih memakai buku pun berbentuk soft file
yang sangat terbatas.
Baru pada bulan kedua ada kabar bahwa kalau buku sudah bisa dipesan
melalui aplikasi BOS. Tolong dicatat dan digarisbawahi, bisa dipesan, bukan
didatangkan. Dan kami masih harus menunggu lagi. Hari-hari penilaian tengah
semester sudah datang, artinya sudah tiga bulan kami melaksanakan pembelajaran
dengan meraba-raba arah kurtilas revisi 2017 ini. Dan Tengah semester pun
segera berlalu, datanglah buku yang ditunggu-tunggu.
Dan kami menyebut lagi duh Gusti, sebagai ungkapan meminta pertolongan
kepada Allah Yang Maha Kasih bahwa ternyata buku kurtilas yang ratusan halaman
ini ternyata hanya untuk satu semester. Berarti buku yang dipesan
berminggu-minggu ini hanya akan terpakai beberapa minggu kedepan saja, dan
harus pesan lagi untuk semester depan. Benar-benar kurtilas 2017 adalah kurikulum
yang menguras energi dan biaya. Mengapa sampai merembet ke biaya? Jelas, sebab
buku cetak tetap harus dibeli dengan uang. Dan buku lawas yang sudah tak
dipakai karena sudah direvisi itu menjadi rongsokan, mubadzir. Kemubadziran
yang nilainya puluhan juta.
Misalkan kita pilih Zona 2 yaitu Rp 20.000 dan dengan asumsi tanpa ongkos
kirim, untuk arti zonasi het silakan googling.
Kita hitung berapa kira-kira dengan kisaran het dana yang dibutuhkan.
Untuk mapel matematika saja total biaya buku untuk satu semester ini
adalah 576 dikalikan Rp. 20.000, hasilnya Rp 11.520.000. Jika ada delapan mapel
yang dibelikan buku, maka tinggal dikalikan lagi dengan delapan, yaitu Rp 92.
160.000,00. Untuk satu tahun alias dua semester kita lipatkan dua (sebab buku
kurtilas yang kami terima hanya untuk satu semester), yaitu Rp 184.320,00.
Jumlah yang fantastis sekali.
Jika kurikulumnya direvisi, maka uang sebanyak itu tinggal jadi barang
rongsokan yang kalaupun dijual perkilo tetap akan jadi masalah karena buku
tersebut adalah barang milik negara, tapi kalau dibiarkan teronggok ya
buku-buku tersebut hancur menjadi tanah. Dengan biaya yang luar biasa besar
tersebut ternyata masih tak mampu mengangkat pamor matematika atau mapel lain
di mata siswa. Bahkan justru sulitnya yang makin terkenal.
Baik, kita bahas lagi tentang faktor lain yang ikut terlibat dalam
pembunuhan karakter mapel matematika, yaitu soal-soal yang sulit. Benar, soal
yang sulit adalah pembunuh matematika yang hebat. Saya selalu terngiang wewarah dari salah satu pengawas di
Gunungkidul, agar nilai murid-murid baik maka cara paling gampang adalah dengan
membuat soal yang mudah. Rasa-rasanya betul yang disampaikan bapak pengawas
itu. Soal-soal yang mudah dan sederhana yang hampir semua anak mampu
mengerjakan pasti menghasilkan kumpulan nilai yang baik.
Bayangkan bagaimana pemikiran anak didik kita, saat guru menerangkan dengan
contoh dan dilanjutkan memberikan latihan soal yang selalu mudah dan sederhana,
akan tetapi kenapa saat ulangan soalnya jadi sulit. Inilah yang sering sekali
terjadi. Lebih-lebih lagi soal UAS (Ulangan Akhir Semester) yang seringnya
dibuat oleh Dinas maupun MKKS. Beberapa akhir waktu ini juga malah ditambahkan
pula HOTS pada soal-soal yang jelas jauh lebih sulit dari biasanya. Jadi dalam hal ini baik guru maupun pembuat
soal UAS yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kabupaten maupun MKKS telah
turut serta berperan aktif dalam memberikan kesan mengenai sulitnya matematika.
Padahal kita tahu, ilmu matematika adalah ilmu pasti dimana berlaku
seperti ucapan detektif Konan dalam setiap opening filmnya “ Kebenaran selalu
hanya ada satu”. Itulah mengapa meski matematika “sulit” namun nilai 100 tetap
bertebaran jauh lebih banyak daripada di mapel lain, meski secara sudut pandang
nilai rata-rata tetap seringnya dibawah. Nilai 100 yang bertebaran ini
membuktikan bahwa “kebenaran” dan “kepastian” matematika jauh diatas mapel
lain. Maksudnya “kebenaran” di matematika jauh lebih mudah ditemukan dalam
setiap soalan.
Matematika jelas terintegrasi dengan mapel lain. Misal dengan IPA, banyak
sekali contoh yang terkait matematika, semisal konversi satuan, kecepatan,
perhitungan massa, perbandingan dan lain sebagainya. Dalam IPS, juga ada skala,
hipotesa dan perkiraan, bahkan terkait
data kependudukan yang olahannya memakai statistik. Nah, yang saya perhatikan,
banyak siswa yang berkomentar “IPA/IPS mudah sih kecuali bagian pas
hitung-hitungan..”
Mungkin tak akan ada komentar seperti itu jika soal yang ada hitungannya
dipermudah. Dan jelas ini termasuk faktor yang menambah kesan sulitnya
matematika. Sebab jika si anak ditanya mengapa kesulitan dibagian hitungan,
hampir pasti jawabnya adalah ”Saya tidak bisa matematika, Pak...”. Nah, matematika
lagi yang salah, bukan?
Sudahlah, matematika memang sulit. Kalau kata itu berhenti saja, maka
saya sudah gagal sebagai guru. Saya ceritakan sepenggal pengalaman saat studi
banding di Australia, ini pengalaman ketua MGMP Matematika Gunungkidul, yaitu
murid-murid disana rata-rata senang dengan matematika. Setelah diamati,
ternyata memang semua soalan yang tersedia, entah tugas maupun homework pun juga test dibuat dengan
angka yang mudah. Tak jarang soal yang keluar di test atau kita menyebutnya
ulangan harian, sama persis dengan contoh pada saat pembelajaran yang tentu
saja mudah.
Saat ketua MGMP bercerita tentang tukar pikiran beliau dengan para guru Aussie tersebut, ada poin penting sekali
yang saya tangkap. Bahwa para guru di sana sepakat menanamkan konsep dan bukan
hitungan. Kalau konsep dasarnya paham, maka hitungan bisa diusahakan. Hal ini
saya rasa tepat sekali, bukankah untuk hitungan yang melibatkan angka rumit
dalam kehidupan nyata sudah ada alat bantu, entah itu kalkulator, komputer,
sempoa, lidi dan sebagainya. Bukankah untuk bekerja di bank, pegawainya juga
tak lagi menghitung bunga yang harus dibayarkan ke nasabah?
Jadi bagaimana?
Masihkah guru matematika terobsesi membuat atau memberikan soal sulit?
Karena rupanya ada rasa “puas”
tersendiri saat siswanya tidak bisa mengerjakan soal. Nah coba rasakan
rasa baru yang “puaaas” sekali saat semua siswa bisa mengerjakan soal dan
mendapatkan nilai bagus. Rasakan kebahagiaan saat melihat wajah para murid
berbinar-binar bahagia setelah menerima kertas ulangan yang tertulis nilai yang
baik. Bahagia adalah saat melihat banyak orang juga bahagia. Dan itu bisa
dicapai saat soalnya tidak sulit. Sekali-sekali saya rasa tidak mengapa
menikmati hal ini.
Namun hal di atas akan sirna saat membuka lembaran ulangan akhir semester
yang diselenggarakan dinas pendidikan kabupaten, sebab soal UAS tersebut masih
saja sulitnya minta ampun.
Mengenai buku kurikulum 2013 jelas ada solusi mudah, yaitu buku tersebut
tidak harus tebal kan? Buat saja dalam beberapa seri. Misal dalam satu semester
dibuat lima seri buku sesuai kompetensi dasarnya. Itupun soal dan tugas dipisah
tersendiri dalam bentuk semisal LKS yang tipis-tipis.
Masalah biaya membengkak sudah bukan tugas guru, juga pasti sudah ada
yang memikirkan itu dari pemerintah. Yang jelas, siswa yang menerima buku
pelajaran yang tipis pasti akan sangat senang, pun tidak berat di punggung,
sehingga mengurangi resiko sakit punggung yang diderita sebagian besar siswa
karena bukunya tebal-tebal. Jadi setiap harinya per mapel siswa hanya membawa
buku tipis pelajaran, buku tipis LKS, dan buku tipis catatan.
Jika kita sebagai guru matematika sudah mampu membuat bahagia
murid-muridnya, hilang sudah satu beban yang harus dipikul mereka. Saya yakin,
prestasi mereka akan meningkat, dan berekses positif pula pada mapel lain yang
secara keseluruhan akan meningkatkan kemampuan global.
Opini ini mungkin menimbulkan pertanyaan pada pembaca, kalau matematika
mudah dan sederhana lalu bagaimana bisa bersaing dengan negara lain? Jawaban
saya, justru nantinya ketika matematika dan mapel lain jadi sederhana akan ada
minat dan bakat yang benar-benar terjaga sehingga nantinya penjurusan menjadi
lebih terfokus. Hanya anak yang benar-benar suka, berkeinginan penuhlah yang
nantinya masuk kelas advance yang
baru disitu silakan ditingkatkan baik dari segi teori dan hitungan tingkat
tinggi yang bisa ditargetkan juara dunia. Dengan demikian tak perlulah semua
anak harus ikutan pusingnya bagaimana abstraknya matematika.
No comments:
Post a Comment
Komen? boleh, silahkan...