Saturday, December 2, 2017

OPINI: MATEMATIKA ITU SULIT, MITOS ATAU FAKTA?

adv: Apk latihan untuk kelas 8 mapel mat sem 1.
Download atau Langsung Download di playstore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pas1.mat8

dipublikasikan di PPPTK Yogyakarta, 8/12/2007

Oleh : Ikhwanudin Achmad, S.Si. (SMP 3 Wonosari)
Matematika bukanlah pelajaran yang sulit. Itu bagaikan pernyataan kosong dan akan tetap kosong. Itulah yang saya pikirkan, sebab bagaimanapun saya sebagai guru matematika mengusahakan kesan bahwa matematika itu tidak sulit, bahwa matematika itu menyenangkan, bahwa matematika itu kawan yang baik, pasti ada saja faktor-faktor yang selalu ada dari banyak sisi yang mementahkan kesan yang saya tanamkan.

Pembelajaran matematika saya buat menyenangkan, dengan slide-slide yang ceria dan contoh-contoh yang aktual. Tapi datang kurikulum dengan buku yang tebalnya sampai saya meminta perlindungan agar dijauhkan dari rasa takut dengan buku, kurikulum 2013 namanya, sering dikenal dengan sebutan kurtilas. Belum cukup dengan “kerennya” buku siswa, gurunya juga mendapatkan buku spesial guru yang tebalnya makin membuat tas saya gampang jebol.  
Kesan sulit juga didapatkan dari bahasan buku kurtilas itu sendiri, dimana penulisannya terkesan tergesa-gesa serta tidak terfokuskan dengan baik. Justru buku-buku yang saya baca dari penerbit swasta malah lebih mengesankan kemudahan tersebut. Ini buku khusus kurtilas resmi terbitan pemerintah justru memakai teknik penjelasan yang “mbulet” alias memutar kemana-mana. Soal-soal dan contoh yang diberikan semakin menambah pusing anak didik saya. Angka-angka yang dipilih dalam soal jelas bukan angka-angka yang cantik, yang kalau dikerjakan tanpa kalkulator ternyata sulit.
Rupanya keluhan tentang kualitas buku dan lain-lainnya dari kurikulum 2013 yang belum matang ini terdengar dan disuarakan dimana-mana. Namun masih belum ada kebijakan yang menenangkan, hingga akhirnya pak menteri diganti oleh presiden baru dengan pak menteri yang baru dan fresh. Pak Menteri yang baru ini juga harapan baru bagi kami yang ternyata benar mengabulkan sebagian besar harapan para guru, bahwa sekolah yang belum siap boleh untuk tetap memakai kurikulum 2006 yang terkenal dengan sebutan KateSiape, salah satu bahasa plesetan dari KTSP. Hal ini sangat melegakan karena untuk sementara kami masih bisa memakai cara “lama” yang menurut kami jauh lebih sederhana dalam pembelajaran.
Setelah ganti menteri lagi pada tahun 2015, kami kembali harap-harap cemas mengenai kebijakan kurikulum. Maklum, sudah jamak opini bahwa berganti menteri berarti berganti kurikulum. Penantian pun terjawab, yaitu dengan adanya revisi kurikulum 2013. Dan ini justru menjadikan hari-hari kami selalu dibayangi dengan revisi seperti apa yang akan dibijakkan oleh pemerintah pusat.
Pada pertengahan 2016 keluar revisi yang entah bagaimana bahkan belum sempat saya mengamati sudah lanjut keluar revisi 2017. Dan di tahun pelajaran 2017/2018 ini sekolah kami akhirnya kebagian melaksanakan kurikulum 2013 revisi 2017 secara penuh. Dan sibuklah para guru mencari buku kurtilas revisi 2017 yang ternyata belum terbit. Bahkan edisi soft file juga sangat amat susah dicari. Hasilnya satu bulan pertama kami masih memakai buku pun berbentuk soft file yang sangat terbatas.
Baru pada bulan kedua ada kabar bahwa kalau buku sudah bisa dipesan melalui aplikasi BOS. Tolong dicatat dan digarisbawahi, bisa dipesan, bukan didatangkan. Dan kami masih harus menunggu lagi. Hari-hari penilaian tengah semester sudah datang, artinya sudah tiga bulan kami melaksanakan pembelajaran dengan meraba-raba arah kurtilas revisi 2017 ini. Dan Tengah semester pun segera berlalu, datanglah buku yang ditunggu-tunggu.
Dan kami menyebut lagi duh Gusti, sebagai ungkapan meminta pertolongan kepada Allah Yang Maha Kasih bahwa ternyata buku kurtilas yang ratusan halaman ini ternyata hanya untuk satu semester. Berarti buku yang dipesan berminggu-minggu ini hanya akan terpakai beberapa minggu kedepan saja, dan harus pesan lagi untuk semester depan. Benar-benar kurtilas 2017 adalah kurikulum yang menguras energi dan biaya. Mengapa sampai merembet ke biaya? Jelas, sebab buku cetak tetap harus dibeli dengan uang. Dan buku lawas yang sudah tak dipakai karena sudah direvisi itu menjadi rongsokan, mubadzir. Kemubadziran yang nilainya puluhan juta.
Mungkin pembaca bertanya apakah benar sampai puluhan juta, bisa kita bahas walkhususon sekolah tempat saya mengajar. Jumlah peserta didik perkelas adalah 32 anak. Sekolah kami ada enam kelas paralel. Artinya pertingkat ada 6 dikali 32 = 192 anak. Untuk keseluruhan ada 192 kali 3 menjadi 576 anak. Biaya satu buku saya ambil salah satu het(harga eceran tertinggi) resmi yang tercantum di sampul belakang.
Misalkan kita pilih Zona 2 yaitu Rp 20.000 dan dengan asumsi tanpa ongkos kirim, untuk arti zonasi het silakan googling. Kita hitung berapa kira-kira dengan kisaran het dana yang dibutuhkan.
Untuk mapel matematika saja total biaya buku untuk satu semester ini adalah 576 dikalikan Rp. 20.000, hasilnya Rp 11.520.000. Jika ada delapan mapel yang dibelikan buku, maka tinggal dikalikan lagi dengan delapan, yaitu Rp 92. 160.000,00. Untuk satu tahun alias dua semester kita lipatkan dua (sebab buku kurtilas yang kami terima hanya untuk satu semester), yaitu Rp 184.320,00. Jumlah yang fantastis sekali.
Jika kurikulumnya direvisi, maka uang sebanyak itu tinggal jadi barang rongsokan yang kalaupun dijual perkilo tetap akan jadi masalah karena buku tersebut adalah barang milik negara, tapi kalau dibiarkan teronggok ya buku-buku tersebut hancur menjadi tanah. Dengan biaya yang luar biasa besar tersebut ternyata masih tak mampu mengangkat pamor matematika atau mapel lain di mata siswa. Bahkan justru sulitnya yang makin terkenal.
Baik, kita bahas lagi tentang faktor lain yang ikut terlibat dalam pembunuhan karakter mapel matematika, yaitu soal-soal yang sulit. Benar, soal yang sulit adalah pembunuh matematika yang hebat. Saya selalu terngiang wewarah dari salah satu pengawas di Gunungkidul, agar nilai murid-murid baik maka cara paling gampang adalah dengan membuat soal yang mudah. Rasa-rasanya betul yang disampaikan bapak pengawas itu. Soal-soal yang mudah dan sederhana yang hampir semua anak mampu mengerjakan pasti menghasilkan kumpulan nilai yang baik.
Bayangkan bagaimana pemikiran anak didik kita, saat guru menerangkan dengan contoh dan dilanjutkan memberikan latihan soal yang selalu mudah dan sederhana, akan tetapi kenapa saat ulangan soalnya jadi sulit. Inilah yang sering sekali terjadi. Lebih-lebih lagi soal UAS (Ulangan Akhir Semester) yang seringnya dibuat oleh Dinas maupun MKKS. Beberapa akhir waktu ini juga malah ditambahkan pula HOTS pada soal-soal yang jelas jauh lebih sulit dari biasanya.  Jadi dalam hal ini baik guru maupun pembuat soal UAS yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Kabupaten maupun MKKS telah turut serta berperan aktif dalam memberikan kesan mengenai sulitnya matematika.
Padahal kita tahu, ilmu matematika adalah ilmu pasti dimana berlaku seperti ucapan detektif Konan dalam setiap opening filmnya “ Kebenaran selalu hanya ada satu”. Itulah mengapa meski matematika “sulit” namun nilai 100 tetap bertebaran jauh lebih banyak daripada di mapel lain, meski secara sudut pandang nilai rata-rata tetap seringnya dibawah. Nilai 100 yang bertebaran ini membuktikan bahwa “kebenaran” dan “kepastian” matematika jauh diatas mapel lain. Maksudnya “kebenaran” di matematika jauh lebih mudah ditemukan dalam setiap soalan.
Matematika jelas terintegrasi dengan mapel lain. Misal dengan IPA, banyak sekali contoh yang terkait matematika, semisal konversi satuan, kecepatan, perhitungan massa, perbandingan dan lain sebagainya. Dalam IPS, juga ada skala, hipotesa dan perkiraan, bahkan  terkait data kependudukan yang olahannya memakai statistik. Nah, yang saya perhatikan, banyak siswa yang berkomentar “IPA/IPS mudah sih kecuali bagian pas hitung-hitungan..”
Mungkin tak akan ada komentar seperti itu jika soal yang ada hitungannya dipermudah. Dan jelas ini termasuk faktor yang menambah kesan sulitnya matematika. Sebab jika si anak ditanya mengapa kesulitan dibagian hitungan, hampir pasti jawabnya adalah ”Saya tidak bisa matematika, Pak...”. Nah, matematika lagi yang salah, bukan?
Sudahlah, matematika memang sulit. Kalau kata itu berhenti saja, maka saya sudah gagal sebagai guru. Saya ceritakan sepenggal pengalaman saat studi banding di Australia, ini pengalaman ketua MGMP Matematika Gunungkidul, yaitu murid-murid disana rata-rata senang dengan matematika. Setelah diamati, ternyata memang semua soalan yang tersedia, entah tugas maupun homework pun juga test dibuat dengan angka yang mudah. Tak jarang soal yang keluar di test atau kita menyebutnya ulangan harian, sama persis dengan contoh pada saat pembelajaran yang tentu saja mudah.
Saat ketua MGMP bercerita tentang tukar pikiran beliau dengan para guru Aussie tersebut, ada poin penting sekali yang saya tangkap. Bahwa para guru di sana sepakat menanamkan konsep dan bukan hitungan. Kalau konsep dasarnya paham, maka hitungan bisa diusahakan. Hal ini saya rasa tepat sekali, bukankah untuk hitungan yang melibatkan angka rumit dalam kehidupan nyata sudah ada alat bantu, entah itu kalkulator, komputer, sempoa, lidi dan sebagainya. Bukankah untuk bekerja di bank, pegawainya juga tak lagi menghitung bunga yang harus dibayarkan ke nasabah?
Jadi bagaimana?
Masihkah guru matematika terobsesi membuat atau memberikan soal sulit? Karena rupanya ada rasa “puas”  tersendiri saat siswanya tidak bisa mengerjakan soal. Nah coba rasakan rasa baru yang “puaaas” sekali saat semua siswa bisa mengerjakan soal dan mendapatkan nilai bagus. Rasakan kebahagiaan saat melihat wajah para murid berbinar-binar bahagia setelah menerima kertas ulangan yang tertulis nilai yang baik. Bahagia adalah saat melihat banyak orang juga bahagia. Dan itu bisa dicapai saat soalnya tidak sulit. Sekali-sekali saya rasa tidak mengapa menikmati hal ini.
Namun hal di atas akan sirna saat membuka lembaran ulangan akhir semester yang diselenggarakan dinas pendidikan kabupaten, sebab soal UAS tersebut masih saja sulitnya minta ampun.
Mengenai buku kurikulum 2013 jelas ada solusi mudah, yaitu buku tersebut tidak harus tebal kan? Buat saja dalam beberapa seri. Misal dalam satu semester dibuat lima seri buku sesuai kompetensi dasarnya. Itupun soal dan tugas dipisah tersendiri dalam bentuk semisal LKS yang tipis-tipis.
Masalah biaya membengkak sudah bukan tugas guru, juga pasti sudah ada yang memikirkan itu dari pemerintah. Yang jelas, siswa yang menerima buku pelajaran yang tipis pasti akan sangat senang, pun tidak berat di punggung, sehingga mengurangi resiko sakit punggung yang diderita sebagian besar siswa karena bukunya tebal-tebal. Jadi setiap harinya per mapel siswa hanya membawa buku tipis pelajaran, buku tipis LKS, dan buku tipis catatan.
Jika kita sebagai guru matematika sudah mampu membuat bahagia murid-muridnya, hilang sudah satu beban yang harus dipikul mereka. Saya yakin, prestasi mereka akan meningkat, dan berekses positif pula pada mapel lain yang secara keseluruhan akan meningkatkan kemampuan global.

Opini ini mungkin menimbulkan pertanyaan pada pembaca, kalau matematika mudah dan sederhana lalu bagaimana bisa bersaing dengan negara lain? Jawaban saya, justru nantinya ketika matematika dan mapel lain jadi sederhana akan ada minat dan bakat yang benar-benar terjaga sehingga nantinya penjurusan menjadi lebih terfokus. Hanya anak yang benar-benar suka, berkeinginan penuhlah yang nantinya masuk kelas advance yang baru disitu silakan ditingkatkan baik dari segi teori dan hitungan tingkat tinggi yang bisa ditargetkan juara dunia. Dengan demikian tak perlulah semua anak harus ikutan pusingnya bagaimana abstraknya matematika.

No comments:

Post a Comment

Komen? boleh, silahkan...